af256938-77ee-4d95-80e7-30c0ad30a046_169 (1)
Masih Belum Percaya RI Diserang Baja Impor? Ini Buktinya
Masih Belum Percaya RI Diserang Baja Impor? Ini Buktinya
August 2, 2019

Jakarta, CNBC Indonesia - Sudah bukan rahasia bahwa industri baja nasional masih belum sehat. Hal itu terlihat dari rugi bersih PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) yang sebesar US$ 134,95 juta atau setara Rp 1,89 triliun pada semester I-2019. 

Angka kerugian tersebut membengkak dari periode sebelumnya yang hanya US$ 16,01 juta atau setara Rp 224,17 miliar.

Bayangkan, pembengkakan kerugiannya mencapai 8 kali lipat dalam rentang waktu 1 tahun saja.

Bagaimana sih sebenarnya kondisi industri batu bara di Indonesia?

Secara rata-rata, konsumsi baja Indonesia sepanjang periode 2014-2017 sebesar 12,6 juta ton, berdasarkan data dari South East Asia Iron and Steel Institute (SEAISI). Sementara pada tahun 2017 konsumsi baja Indonesia mencapai 13,5 juta ton.

Dari 10 anggota SEAISI, konsumsi baja Indonesia menempati urutan ke-5. Nomor satu adalah Jepang, dengan konsumsi baja hingga 65,1 juta ton pada tahun 2017.

Namun demikian, pertumbuhan konsumsi baja Indonesia bisa dibilang minim. Pasalnya dari data SEAISI, rata-rata pertumbuhan konsumsi baja sepanjang 2014-2017 hanya sebesar 2% saja.

Coba bandingkan dengan Vietnam, yang sama-sama negara berkembang di ASEAN, dimana memiliki rata-rata pertumbuhan konsumsi baja sebesar 17% pada periode yang sama. Tampaknya percepatan pembangunan infrastruktur masih belum cukup untuk menggenjot pertumbuhan konsumsi baja.




Sayangnya, dengan tingkat konsumsi baja yang bisa dibilang 'lumayan', produksi baja Indonesia sangat minim. Pada tahun 2017 SEAISI mencatat produksi baja Indonesia sebesar 5,19 juta ton.

Artinya produksi baja nasional tidak sampai separuh dari konsumsinya.

Pun dengan produksi sebesar itu, tidak seluruhnya digunakan untuk keperluan dalam negeri. Karena berdasarkan data dari International Trade Center (ITC), Indonesia melakukan ekspor baja sebesar 3,2 juta ton tahun 2017.

Dengan demikian, produksi baja yang diperuntukkan untuk keperluan dalam negeri hanya 1,96 juta ton saja. (Ingat produksi sebesar 5,19 juta ton).

Sementara itu, Indonesia juga tercatat melakukan impor baja sebesar 12,3 juta ton pada tahun 2017.

Jika mengasumsikan seluruh impor digunakan untuk konsumsi dalam negeri, maka data tersebut menunjukkan bahwa baja impor masih sangat mendominasi pasar dalam negeri.

China merupakan negara asal baja impor terbesar. Terbaru pada tahun 2018, Indonesia mengimpor baja sebesar 2,83 juta ton dari China.

Bahayanya, saat ini masih ada beberapa produk baja yang tidak memerlukan pemeriksaan di oleh surveyor.

Dalam Peraturan Menteri Perdagangan (PMP) No. 110 tahun 2018, disebutkan bahwa beberapa baja paduan 'alloy' tidak memerlukan verifikasi atau penelusuran teknis.

Artinya baja-baja tersebut bebas masih tanpa diperiksa. Jadi bisa saja yang baja yang masuk tidak sesuai dengan spesifikasi.

PMP 110 Tahun 2018; Sumber: Kementerian Perdagangan
Itulah yang dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan asal China untuk memasukkan 'barang murah'.

Pasalnya, beberapa jenis baja paduan tidak memiliki tarif alias 0%. Berbeda dengan kebanyakan baja lain yang dikenakan bea impor sekitar 5-20%.

Hal itulah yang pada akhirnya terus menekan produsen baja domestik, salah satunya adalah KRAS, yang juga merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).


https://www.cnbcindonesia.com/market/20190802161110-17-89447/masih-belum-percaya-ri-diserang-baja-impor-ini-buktinya




Related Articles