TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga rating Moody’s memperkirakan industri baja di Asia akan berada di kondisi stabil pada tahun depan. Hal ini disampaikan oleh Vice President dan Senior Credit Officer Moody’s Kaustubh Chaubal setelah melihat adanya pertumbuhan tinggi industri tersebut pada 2018.
“Untuk laba,
produsen baja Asia yang kami pantau akan mengalami penurunan level
profitabilitas karena tingkat permintaan dari China berkurang, meski secara
keseluruhan tetap kuat,” kata Chaubal dalam keterangan resmi, Kamis, 29
November 2018.
Walaupun ada
pemangkasan kapasitas dan pengetatan perlindungan terhadap lingkungan di Cina,
menurut Chaubal, besarnya permintaan dari Asia Selatan dan Asia Tenggara
diperkirakan akan tetap mendukung kinerja laba.
Seperti
diketahui Pemerintah Cina telah menyampaikan produksi baja nasional akan
turun menjadi 861 juta ton pada 2019 dan 842 juta ton pada 2020, dari 886
juta ton pada 2018. Penurunan itu turut terkait dengan polusi udara parah yang
melanda sebagian wilayah negara tersebut.
Cina selama ini
dikenal sebagai produsen dan konsumen baja terbesar di Asia. Walhasil produksi
dan permintaan dari Negeri Panda tersebut bakal berpengaruh pada
pertumbuhan industri global.
Senior Vice
President Moody’s Kai Hu menyatakan pihaknya memproyeksi permintaan jasa pindahan baja dari
Cina bakal stagnan. Hal ini menggambarkan banyaknya faktor yang mempengaruhi,
yakni adanya anggaran infrastruktur yang lebih besar yang akan membatasi
pengaruh negatif perang dagang AS-Cina serta melambatnya pertumbuhan investasi
di sektor real estate Cina.
Secara keseluruhan, perang dagang dinilai tidak akan berpengaruh banyak terhadap pasar baja Asia, didukung dampak tidak langsung yang relatif moderat. Meski demikian, efek sampingnya bisa lebih besar serta ada potensi tarif impor otomotif dari AS meningkatkan risiko terhadap produsen baja Jepang dan Korea Selatan (Korsel).
Produsen baja Jepang diproyeksi akan membukukan
laba yang positif, tapi produsen Korsel seperti POSCO dan Hyundai Steel Company
diperkirakan mengalami penurunan pada 2019. Sementara itu, di India,
konsolidasi di sektor baja dan besarnya permintaan untuk
komoditas ini bakal mendukung kinerja laba Tata Steel Ltd. dan JSW Steel
Limited.