Sepanjang 2018,
industri baja nasional menghadapi tekanan akibat serbuan produk impor asal
Tiongkok. Dampaknya merugikan banyak produsen di dalam negeri, termasuk
perusahaan baja milik negara, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.
Serbuan impor baja
asal Tiongkok merupakan buah dari Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 tahun
2018 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan, dan Produk
Turunannya. Tujuan sebenarnya untuk menurunkan waktu tunggu barang di pelabuhan
(dwelling time), namun malah membuka celah masuknya impor baja
dengan modus mengganti Harmonized System (HS) dari baja
jenis carbon steel menjadi jenis alloy steel.
Silmy Karim, yang
menjadi Direktur Utama Krakatau Steel sejak September 2018, mengupayakan agar
Permendag tersebut direvisi. “Saya perjuangkan untuk revisi Permedag. Pekan
lalu (minggu pertama Desember) konon sudah direvisi,” katanya dalam wawancara
khusus dengan Yuliawati, Aria Wiratma dan Hindra Kusuma dari Katadata.co.id di
kantornya, Selasa (11/12).
Setelah revisi
Permendag Nomor 22/2018, mantan Direktur Utama PT Pindad ini optimistis
industri baja nasional akan tumbuh positif. Tahun depan, Silmy
memperkirakan Krakatau akan mencetak laba, setelah dalam
lima tahun merugi.
Sepanjang 2018
terjadi serbuan baja impor dari Tiongkok. Apa penyebabnya kesalahan kebijakan atau dampak
perang dagang AS-Tiongkok?
Perang dagang tidak
begitu mempengaruhi. Namun yang mempengaruhi itu Permendag Nomor 22 tahun 2018,
di mana baja termasuk produk atau komoditas yang bisa masuk ke Indonesia tanpa
melalui proses border.
Proses post
border inspection tak dilakukan oleh Bea Cukai, sehingga banyak
terjadi penyalahgunaan HS number untuk menghindari bea masuk. Akibatnya produk
baja lokal menjadi tidak kompetitif. Dalam hitungan bulan, ada peningkatan
impor sekitar 59% pada kuartal pertama 2018 (dibandingkan periode yang sama
tahun lalu).
Saat saya bergabung
di Krakatau Steel, saya petakan permasalahnya. Saya perjuangkan untuk revisi
Permedag No. 22/2018. Pekan lalu konon sudah direvisi.
Apa saja langkah
memperjuangkan revisi Permendag Nomor 22/2018?
Saya melakukan
pendekatan-pendekatan, bukan hanya di tingkat menteri, saya juga bertemu bapak
Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ketika saya bertemu Bapak Presiden Joko Widodo,
saya sampaikan untuk meningkatkan kompetisi daya saing industri dalam negeri,
baja adalah mother of industry. Bila industri baja tidak sehat,
maka dampaknya tidak semata ke industri baja tapi juga industri dalam negeri.
Setelah revisi
Permendag Nomor 22/2018, apakah industri baja dalam negeri mampu bersaing
dengan impor asal Tiongkok?
Masalah persaingan
tentu perlu melihat beberapa faktor. Kami lihat tentu regulasi yang membuat
(industri baja) tidak bertambah sehat. Persaingan sehat itu ketika level playing
field sama, kemudian memiliki visi untuk mengembangkan industri
nasional.
Pengalihan HS
number dari carbon steel ke alloy steel, membuat
importir bebas bea masuk. Akibatnya kami sudah kalah 25-28%. Tidak mungkin
bersainglah (dengan kondisi seperti itu). Sangat jarang industri mendapat
untung lebih dari 20%. Bisa untung 5-10% itu sudah bagus.
Kami khawatir
persaingan tidak sehat akan menyebabkan menurunnya daya saing nasional. Itu
juga yang sudah dirasakan oleh Amerika Serikat sehingga Presiden (Donald Trump)
memproteksi perekonomian dan industrinya.
AS itu negara yang
menjunjung tinggi ekonomi pasar, namun melakukan intervensi. Indonesia jangan
terbelenggu aturan-aturan takut melanggar WTO. Banyak strategi yang tidak
melanggar WTO yang dapat melindungi industri dalam negeri.
Jadi perang dagang
AS-Tiongkok itu sebenarnya tak perlu terlalu dikhawatirkan?
Memang perlu, tapi
jangan berlebihan. (Soal Permendag) jangan sampai setelah revisi, tetap impor
dimudahkan. Jangan mengambil untung hanya dalam jangka singkat, tapi berdampak
pada kepentingan jangka waktu yang lama.
Industri itu kalau
sudah mati, mengembalikannya tidak mudah. Kita menjaga jangan sampai terjadi
deindustrialisasi. Pak Presiden Jokowi kan sudah bilang harus bangun industri
setelah infrastruktur.
Krakatau berencana
mengakuisisi pabrik baja lokal yang hampir bangkrut pada 2019. Selain itu,
membangun pabrik Hot Strip Mill (HSM) 2. Bagaimana dampaknya terhadap produksi
baja perusahaan?
Kami akan
beroperasi dalam waktu dekat, fasilitas blast furnace itu
untuk memproduksi crude steel, itu sebesar 1,5 juta ton. Dari crude
steel ini dapat diproses lagi, salah satunya menghasilkan Hot
Strip Mill (HSM).
Proses HSM menambah
satu fasilitas produksi sebesar 1,5 juta ton. Artinya, output HSM
semakin banyak, kurang lebih kapasitasnya bisa memenuhi sekitar 4,5 juta ton.
Bagaimana rencana
pembangunan klaster baja di Cilegon yang memproduksi 10 juta ton
dengan mengajak investor strategis?
Program 10 juta ton
salah satu eksekutornya Krakatau Steel, karena lokasi klaster di
Cilegon. Untuk investasi tambahan menjadi 10 juta ton, membutuhkan dana sekitar
US$ 5-7 miliar. Itu angka yang tidak sedikit, sekitar Rp 60 triliun.
Kami akan mengajak
perusahaan baja, dari Korea, Jepang, lainnya. Prinsip kami membuka diri
dengan partnership, yang terpenting Indonesia bisa mandiri.
Konsumsi baja per
kapita masih rendah sekitar 50 kilogram per orang per tahun. Sementara di
negara lain, seperti Singapura itu sekitar 300 kg/per tahun. Begitu juga di
Malaysia, Vietnam, konsumsinya lebih tinggi.
Bagaimana dampak kerja sama dengan enam BUMN Karya untuk proyek
kontruksi terhadap pendapatan Krakatau di tahun depan?
Target saya kerja
sama dengan enam BUMN ini bisa melepas satu juta ton besi beton per tahun
khususnya di 2019. Dengan harga Rp 10.000 ( per kilogram ), pendapatan menjadi
sekitar Rp 10 triliun. Kami ingin menjadi lebih kompetitif, (harganya) bisa
diturunkan sehingga (pendapatan) menjadi Rp 9 triliun dengan kualitas yang
baik.
Hingga akhir
2017 Krakatau masih merugi. Bagaimana perkiraan kinerja hingga akhir tahun
ini?
Saya masuk sejak
September, pada Oktober alhamdulillah (keuangan) positif, November juga. Harapan
saya, Desember tetap positif meski banyak libur. Terakhir memang masih minus
US$ 22 juta. Tapi saya belum melihat lagi dengan naik turunnya kurs terakhir
ini. Semoga masih bisa membukukan (laba) positif.
Buat saya yang
terpenting pada 2019. Setidaknya tren positif ini harus dijaga, agar
industri baja nasional sehat. Jadi saya tidak semata memikirkan Krakatau. Saya
juga memikirkan bagaimana industri baja berkembang, dengan pola kemitraan dan
pembinaan.
Berapa perkiraan
pertumbuhan Krakatau pada 2019?
Biasanya
pertumbuhan industri baja dan ekonomi itu seiring pertumbuhan ekonomi, sekitar
5-10%. Menurut saya, saat ini oke dari sisi demand, masalahnya
hanya tekanan impor. Impor itu menyebabkan kapasitas kami idle,
sehingga tidak kompetitif.
Nilai ekspor baja
periode Januari-Agustus 2018 meningkat 32%. Apakah Krakatau akan berupaya
meningkatkan ekspor atau tetap fokus di pasar domestik?
Kami harus menjadi
tuan rumah dulu di indonesia. Setelah menjadi tuan rumah, efisien, baru kami
ekspor. Tapi biasanya ekspor Krakatau berkisar 5-10%. Setidaknya, saya
mendorong supaya ekspor bagus di kisaran 10%.
Saya juga berusaha
membuat market share makin baik. Dengan penambahan 1,5 juta
ton, kami makin membaik. Selain 2019 harus untung, market sharebertambah,
profitabilitas semakin baik, kami terus berinvestasi yang strategis.
Apa dampak Pemilu
2019 terhadap bisnis perusahaan?
Saya rasa Pemilu
bisa sebagai salah satu faktor (mempengaruhi) ekonomi, bisa juga tidak. Saya
melihatnya pemerintah kan semakin baik, apabila ada hal yang tidak pas diubah
menjadi bagus.
Yang harus
diperhatikan itu soal impor baja. Jangan dipukul rata dari kebutuhan dalam
negeri 13,8 juta ton, dan produksi 8 juta ton. Bukan berarti sisanya harus
impor. Tak bisa begitu karena produksi HRC (Hot Rolled-Coil) kita
sudah cukup. Impor untuk produk-produk tertentu yang tak dibuat di dalam
negeri seperti baja yang digunakan untuk kepentingan militer.
Apakah bisnis
Krakatau akan terhambat oleh rencana perjanjian perdagangan internasional,
seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP)?
Sebenarnya
perjanjian perdagangaan luar negeri terkait dengan baja, yang paling utama
mengganggu itu FTA (Free Trade Agreement), tarif impor baja sudah nol
persen. Pesaing seperti Tiongkok, Korea dan Jepang, sudah (meratifikasi) FTA
semua.
Artinya (perjanjian
perdagagan) yang lebih berat sudah tidak ada lagi. Kebijakan yang paling tepat
untuk baja adalah safe guard untuk melindungi industri lokal,
bukan memberikan proteksi. Itu masih dibolehkan.
Pelabuhan ekspor-impor. (Katadata)
Sebelum di Krakatau, Anda memimpin beberapa
BUMN seperti PT PAL Indonesia, PT Bahana, PT Pindad, PT Barata. Apa strategi
memimpin perusahaan-perusahaan yang berbeda sektor?
Setiap perusahaan
memiliki masalah yang berbeda-beda, perusahaan yang satu dengan yang lain tidak
sama, sehingga obatnya tidak bisa dipukul rata. Yang terpenting bagaimana
membangun kebersamaan, semangat, cara berpikir yang positif, kondusif, rasa
nyaman untuk bekerja.
Kami berikan trust atau
kepercayaan yang tinggi. Sehingga setiap penugasan saya tidak bawa orang karena
di mana pun kita bisa beradaptasi dan harus bisa melakukan perubahan, untuk ke
arah kebaikan.
Kesuksesan atau
apapun yang terjadi merupakan kerja tim, network yang baik. Kami
saling mendukung, tolong menolong, saya rasa itu yang paling utama. Bukan
menghindari konflik, karena buat apa menang dalam jangka pendek tapi kalah
dalam jangka panjang.
Apakah ada
perbedaan memimpin perusahaan swasta dan BUMN?
Masing-masing punya
kelebihan dan kekurangan. Kalau swasta itu cepat dalam mengambil keputusan,
sementara BUMN sulit dalam mengambil keputusan. Masih ada unsur birokrasi,
meski tidak menjadi hambatan. Perlu pintar melakukan pendekatan agar
(memproses) keputusan cepat. Melihat tren BUMN, sekarang sudah mengadopsi best
practice swasta.