Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku industri baja menilai
wacana kenaikan gas oleh PT Perusahaan Gas Negara (PGN) bulan depan harus
dikaji ulang. Pasalnya, tidak semua sektor manufaktur memiliki tingkat
kebutuhan yang sama.
Ketua Umum Indonesia Iron
and Steel Industry Association (IISIA) Silmy Karim mengatakan penurunan tarif
gas justru dinilai penting. Penurunan tersebut diproyeksikan dapat membuat daya
saing produsen baja lokal setara dengan baja impor yang kini membanjiri pasar
baja lokal.
"Bisnis baja itu rantai
pasokannya cukup panjang dan [urgensi penurunan tarif gas] ini menyangkut
investasi, tenaga kerja, daya saing industri, dan masih banyak lagi,"
ujarnya kepada Bisnis, Rabu
(25/9/2019).
Walaupun gas hanya
berkontribusi sekitar 4%-5% dari struktur biaya produksi, Silmy menilai
perubahan tarif gas akan berdampak signifikan. Pasalnya, industri baja
merupakan industri padat modal.
Dia mengatakan tarif gas
yang kerap dijanjikan akan turun ke level US$6 per MMBTU pun masih lebih tinggi
dari negara lain yakni sekitar US$1--US$3 per MMBTU.
Direktur Eksekutif Indonesia
Zinc Alumunium Steel Industry Maharani Putri mengatakan kenaikan harga gas akan
berdampak besar bagi industri baja lapis. Pasalnya, hal tersebut akan membuat
harga baja cabai dingin (cold rolled coil/CRC)
melambung.
"Otomatis cost of production tinggi dan harga
jual CRC ke kami tinggi. Dengan 80% beban cost
of production baja lapis ada di CRC, otomatis harga jual baja lapis
jadi tinggi juga," katanya.
Sementara itu, produk
keramik dan kaca nasional juga mengalami penurunan daya saing di pasar global
dalam beberapa tahun terakhir salah satunya lantaran tingginya biaya gas.
Sekretaris Jenderal
Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan produksi ekspor
keramik Indonesia pada 2015 masih berada di peringkat empat. Posisi Indonesia
justru melorot ke peringkat ketujuh tahun lalu.
Padahal, kata Sigit,
Indonesia masih berada di posisi keempat berdasarkan kapasitas terpasang. Salah
satu faktor yang memengaruhi hal itu, katanya, adalah harga gas yang mahal.
"Kita bersaing dengan
negara lain. Paling banyak [penurunan daya saing pada] keramik dan kaca,"
ujarnya, Rabu (25/9/2019).
Untuk sektor kaca lembaran,
saat ini arus investasi baru cenderung lari ke Malaysia. Pasalnya, harga gas di
negara tersebut jauh lebih kompetitif.
Sigit menyatakan bahwa
Kemenperin selalu berupaya untuk mendorong daya saing industri. Upaya itu perlu
didukung dengan penyederhanaan regulasi.
Ketua Umum Asosiasi Aneka
Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto mengatakan bahwa saat ini produk
keramik nasional kurang kompetitif di pasar ekspor. Oleh karena itu, dia
berharap pemerintah bisa mengimplementasikan Peraturan Presiden No. 40/2016
tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
Regulasi yang ditetapkan pada Mei 2016 itu mengatur harga gas bumi
tertenu senilai US$6 per MMBTU kepada sejumlah sektor manufaktur, termasuk
keramik dan kaca lembaran.