JAKARTA, KOMPAS.com -
Deregulasi impor besi atau baja dan produk turunannya harus mempertimbangkan
waktu secara tepat dengan memperhatikan kondisi industri baja nasional. Kondisi
yang dialami oleh industri baja sedang mengkhawatirkan.
Silmy Karim, Ketua Asosiasi Industri Besi dan
Baja Nasional (The Indonesian Iron & Steel Industry Association/IISIA),
mengatakan bahwa kebijakan deregulasi itu harus melihat kondisi industri baja
nasional yang sudah pada utilitasi optimalnya atau belum.
Dia berpandangan bahwa kondisi
industri baja nasional saat ini terus mengalami penurunan akibat tergerusnya
pangsa pasar produsen baja nasional oleh produk impor. Pada periode Januari
hingga Juli 2019 lalu jumlah importasi besi dan baja sudah mencapai 3,8 juta
ton atau meningkat sebesar 6 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama
pada 2018.
"Bahkan, kalau
berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sampai Agustus lalu besi dan baja masih
menempati posisi 3 besar komoditas impor yang masuk ke Indonesia," kata
Silmy, Kamis (17/10/2019). Sebelumnya, Kementerian Perindustrian menyatakan
akan menghapus 18 regulasi dalam upaya meningkatkan daya saing industri dalam
negeri.
Salah satunya terkait
ketentuan importasi besi atau baja dan produk turunannya. Adapun ketentuan
penghapusan itu berupa surat rekomendasi atau pertimbangan teknis untuk
pemegang Angka Pengenal Importir-Produsen (API-P). Menurut Silmy, pengawasan
terhadap produk baja impor yang masuk ke Indonesia saat ini masih belum
optimal.
"API-P bisa jadi
cara mendapatkan Surat Persetujuan Impor (SPI). Seyogyanya pembebasan
pemberlakuan pertimbangan teknis pada API-P dilakukan setelah evaluasi secara
komprehensif untuk menutup celah penyalahgunaan API-P," kata Silmy.
Berdasarkan Peraturan
Menteri Perdagangan No 75 tahun 2018 tentang Angka Pengenal Importir Pasal 5
(1), API-P hanya diberikan kepada perusahaan yang melakukan impor barang untuk
digunakan sendiri sebagai barang modal, bahan baku, bahan penolong, dan bahan
untuk mendukung proses produksi. Sementara pasal 5 (2) menyatakan bahwa barang
yang diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan
atau dipindahtangankan ke pihak lain.
"Kalau lihat aturan
terkait API-P itu kriteria dan hal-hal yang tidak diperbolehkan dilakukan oleh
API-P sudah cukup jelas untuk menjaga barang yang diimpor hanya diperuntukkan
bagi pemenuhan kebutuhan bahan baku," katanya.
Saat ini, menurut Silmy,
masih terjadi penyalahgunaan izin API-P tersebut hanya untuk mengimpor dan
langsung menjual produk impor tanpa melalui suatu proses di industri. Ia
menambahkan bahwa kecurangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh para importir
besi, baja dan produk turunannya tidak sedikit dan beragam.
“Kami mengapresiasi
langkah Menteri Keuangan Sri Mulyani yang sudah menindak para importir Tekstil
dan Produk Tekstil (TPT) yang diduga melakukan praktik nakal sebagai upaya
untuk melindungi industri dalam negeri," ujar Silmy.