KONTAN.CO.ID
- JAKARTA. Meskipun ekspor baja nasional menunjukkan kinerja yang baik di
semester I-2021, di mana tumbuh 93,3% secara tahunan atau yoy. Namun, impor
baja juga tercatat meningkat 51,18% atau mencapai US$ 5,36 miliar dan menempati
posisi kedua komoditi impor dibandingkan dengan tahun 2020 sebesar US$ 3,55
miliar.
Secara global,
sebagaimana dilaporkan Worldsteel Association, produksi baja dari 64 negara
produsen baja terbesar pada semester I-2021 meningkat secara signifikan sebesar
14% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2020 menjadi 1,0 miliar ton.
Chairman Asosiasi Besi dan Baja Nasional/The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA),
Silmy Karim berpendapat, kenaikan volume impor besi dan baja dikhawatirkan akan
terus berlanjut sepanjang tahun 2021. Pemerintah pun diharapkan dapat mengambil
langkah yang cepat sebagai upaya antisipasi atas kemungkinan dampak negatif
terhadap industri nasional.
Pemerintah
negara lain, kata Silmy, baik di regional maupun global telah aktif menerapkan
kebijakan trade remedies untuk
melindungi pasar dalam negerinya. Seperti misalnya Thailand, telah mengumumkan
putusan final anti
dumping definitif untuk impor Baja Lapis Alumunium Seng
(BjLAS) yang berasal dari Tiongkok dan Korea Selatan untuk jangka waktu 5
tahun.
Pemerintah
Malaysia juga telah memberlakukan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas impor baja
tahan karat canai dingin dalam bentuk kumparan, lembaran atau bentuk lainnya
yang berasal atau diekspor dari Indonesia dan Vietnam.
"Kementerian
Perindustrian dan Perdagangan Vietnam telah mengeluarkan Resolusi No.
1283/QD-BCT pada bulan April 2021 yang merilis kesimpulan dari tinjauan
akhir anti dumping untuk
impor lembaran baja berlapis warna yang berasal dari Republik Rakyat Tiongkok
dan Korea Selatan serta juga telah memberlakukan tarif anti dumping sementara
sebesar 10,2% terhadap produk baja profil H yang diimpor dari Malaysia pada
awal April 2021," ungkap Silmy dalam siaran pers yang diterima
Kontan.co.id, Kamis (12/8).
Selain itu,
Komite Tetap Dewan Kerjasama Teluk (The
Gulf Cooperation Council’s Permanent Committee) telah
merekomendasikan pengenaan bea pengamanan (safeguard) definitif selama
tiga tahun pada
berbagai produk baja. Amerika Serikat, yang juga telah menerapkan
ketentuan pajak impor baja sebesar 25% pun masih melindungi industri baja dalam
negeri melalui kebijakan anti dumping untuk produk kawat baja gulungan beton
pratekan dari berbagai negara.
“Pengenaan BMAD
dapat menjadi upaya perlindungan pasar baja dalam negeri yang efektif
sebagaimana negara lain secara aktif menerapkannya," tambah Silmy.
Saat ini, upaya
pengendalian impor telah diatur dalam kebijakan tata niaga impor (Persetujuan
Impor/PI). Namun, terangnya, kebijakan tersebut masih belum cukup karena hanya
berfungsi untuk mengendalikan impor baja dari sisi volume saja dan tidak bisa
merubah atau mempengaruhi struktur harga baja impor yang masuk secara dumping.
Maka dari itu,
implementasi kebijakan yang berpihak kepada industri baja nasional sangatlah
diperlukan. Sebab, saat ini berbagai instrumen perlindungan dari perdagangan
tidak adil yang diajukan produsen baja nasional belum mendapatkan
persetujuan dari Pemerintah.
“Permohonan perpanjangan dan penerapan BMAD untuk produk Cold Rolled Coil/Sheet, Hot Rolled Coil,
Wire Rod, Cold Rolled Coil Stainless Steel, BJLAS dan
perpanjangan safeguard untuk
I & H Section hingga
saat ini belum mendapatkan persetujuan," ujarnya.
Berdasarkan
data dari World Trade
Organization (WTO,2020), Indonesia belum banyak menggunakan
instrumen trade remedies untuk
melindungi industri dalam negeri. Khusus untuk produk besi dan baja, Indonesia
baru mengenakan trade
remedies sebanyak 43 kasus, dan masih sangat jauh bila
dibandingkan dengan AS (353), Uni Eropa (149), Kanada (146), Australia (80),
India (69) dan bahkan Thailand (52).
Kebijakan trade remedies selain
memberikan perlindungan terhadap industri baja nasional, juga sekaligus
memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional secara keseluruhan. Hal
ini sesuai kajian LPEM Universitas Indonesia terbaru yang menyebutkan pengenaan
tarif BMAD dan safeguard atas
impor produk-produk baja dapat meningkatkan PDB nasional sampai 0,15% atau
setara dengan Rp 2,3 triliun dan memperbaiki neraca perdagangan nasional hingga
Rp 5,6 triliun.
“Instrumen anti dumping ini bukan
merupakan kebijakan perlindungan khusus terhadap suatu industri, melainkan
respon pemerintah atas kerugian atau injury yang
dialami industri akibat adanya perdagangan curang (unfair trade). Perhatian dan dukungan penuh
dari pemerintah sangat dibutuhkan dalam hal kebijakan impor karena jika
industri dalam negeri tidak dilindungi dari barang impor yang dilakukan secara
curang, maka hal tersebut dapat berpengaruh terhadap industri, iklim investasi
dan perekonomian nasional”, tutup Silmy.
https://industri.kontan.co.id/news/impor-baja-tercatat-meningkat-5118-atau-us-536-miliar-di-semester-i-2021