KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Upaya restrukturisasi utang PT Krakatau Steel Tbk (KRAS)
menjadi agenda utama manajemen perusahaan tersebut tahun ini. Berdasarkan
laporan keuangan emiten dengan kode saham KRAS itu,
tercatat utang mencapai US$ 2,49 miliar atau naik 10,45% dibandingkan 2017.
Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim mengatakan, ketika dirinya baru
dilantik di bulan September 2018, dirinya sudah mengirim surat ke Menteri BUMN
Rini Soemarno. "Saya kirim surat bahwa utang terlalu besar dan perlu
restrukturisasi," katanya kepada Kontan.co.id pada Minggu (14/4).
Karenanya, restrukurisasi utang merupakan fokus manajemen KRAS di bawah
kepemimpinan Silmy. Ia mengatakan targetnya, negosiasi restrukturisasi utang
bakal kelar di akhir bulan April 2019 ini.
Permasalahan internal Krakatau Steel juga tidak hanya soal utang. Soal
proyek internal juga kerap dikerjakan berlarut-larut yang mengakibatkan nilai
investasi jadi membengkak.
Berikutnya Silmy bakal melakukan efisiensi internal. "Baik sifatnya
organisasi, struktural, system operating procedure (SOP), ini
sederhanakan. ini perusahaan besar, karyawan bisa di atas 10.000 jadi restrukturisasi
harus cermat," tambahnya.
Salah satu upayanya, KRAS bakal menerapkan manajemen yang menekankan pada
anti-bribery. Dengan menerapkan ini, dirinya tidak akan memberikan toleransi
pada seluruh karyawan yang melakukan praktik korupsi atau penyogokan.
Kemudian perusahaan akan terus melakukan pendekatan ke pemerintah agar
pemerintah mau menolong Krakatau Steel termasuk industri baja nasional melalui
regulasi yang tepat.
Pada 2018, Krakatau Steel mengalami tekanan yang cukup besar. Salah satunya
karena adanya Peraturan Menteri Perdagangan nomor 22 tahun 2018 yang berakibat
semakin banyaknya impor baja di Indonesia.
Alhasil persaingan dengan produk impor menjadi sulit. "Bukan karena
produk kita kalah, tapi banyak importir nakal yang tidak fair.
Contoh mengaku baja alloy steelpadahal carbon steel untuk
pengalihan bea masuk," tambah Silmy.
Silmy yang juga berposisi sebagai Ketua Umum Indonesian Iron and
Steel Association (IISIA) mengatakan bahwa tekanan itu juga berdampak
pada industri besi dan baja. Sampai triwulan I 2019, adanya keran impor baja
berakibat pada utilisasi pabrik baja nasional hanya 30% sampai 40% maksimal.
Silmy mengapresiasi bahwa pemerintah sudah mau menerbitkan aturan revisi
impor baja yakni Permendag Nomor 110 tahun 2018 yang diharapkan dapat
mengurangi praktik kecurangan impor baja. Dalam Permendag yang baru itu, proses
pemeriksaan impor baja yang awalnya post border akan dikembalikan ke proses
kepabeanan.
Aturan itu sendiri sudah berlaku sejak 20 Januari 2019. Namun, karena masih
banyak izin impor dalam peraturan tersebut, hal itu masih juga memberikan
tekanan.
Karenanya, untuk menyelamatkan industri baja termasuk Krakatau Steel di
dalamnya, Silmy mengatakan perlu ada kerja keras di seluruh pihak. Misalnya
soal pengawasan impor yang lebih ketat agar barang yang masuk sesuai dengan
spesifikasi dan tidak ada kecurangan dalam penerapan Standar Nasional Indonesia
(SNI).
Nah soal SNI, jika pengawasan juga tidak diperketat, maka yang dirugikan
bukan hanya industri tetapi juga konsumen.