PT
Krakatau Steel Tbk menargetkan pertumbuhan pendapatan sebesar 26% pada 2022.
Salah satu strategi yang diterapkan untuk mencapai target tersebut adalah
efisiensi proses produksi. Berdasarkan paparan publik, Krakatau Steel
membukukan pertumbuhan pendapatan hingga 73,18% menjadi US$ 1,8 miliar atau
setara Rp 26,5 triliun pada periode Januari-Oktober 2021 dari raihan periode
yang sama tahun lalu US$ 1 miliar atau setara Rp 15,3 triliun.
"Kami
akan menargetkan peningkatan penjualan 26% pada 2022. Kalau dari sisi
profitabilitas, kami berusaha untuk lebih baik dari 2021," kata DIrektur
Utama Krakatau Steel Silmy Karim dalam public expose perseroan,
Selasa (23/11). BACA JUGA Hadapi Aturan UE, Krakatau Steel Siapkan Langkah
Kurangi Emisi Karbon Demi Restrukturisasi, Krakatau Steel Tambah Modal dan
Divestasi Aset Penjualan Baja Naik 73%, Krakatau Steel Cetak Laba Rp 1 Triliun
Pertumbuhan penjualan tahun ini didorong naiknya volume pengapalan perseroan
sebesar 20% menjadi 1,5 juta ton, sementara volume produksi naik 35% menjadi
1,6 juta ton. Pada Desember 2021, Silmy mengatakan, pihaknya akan memecahkan
dua rekor produksi, yakni produksi baja canai panas (HRC) dan baja canai dingin
(CRC) terbanyak selama 1 tahun.
HRC
merupakan jenis baja yang menjadi fokus produksi Krakatau Steel, sedangkan CRC
merupakan salah satu turunan HRC. Secara total, kapasitas terpasang HRC
Krakatau Steel saat ini telah mencapai 3,9 juta ton per tahun. Peningkatan
kapasitas produksi perseroan membuat beberapa biaya produksi susut karena peningkatan
efisiensi produksi. Biaya utilitas tercatat turun 15% dari US$ 25,2 per ton
pada Januari-Oktober 2021 menjadi US$ 21,4 per ton. Selain itu, biaya energi
turun 6% menjadi US$ 12,3 per ton, biaya suku cadang turun 6% menjadi US$ 2,9
per ton, dan biaya lain-lain turun 28% menjadi US$ 5,9 per ton.
Di
samping itu, biaya tenaga kerja turun 9% dari posisi US$ 45,9 per ton pada
Januari-Oktober 2020 menjadi US$ 42,1 ton. Biaya tertinggi yang diterima emiten
industri baja ini adalah biaya tenaga kerja. Efisiensi pada tenaga kerja
terjadi lantaran KRAS melakukan moratorium penerimaan karyawan baru sejak 2020.
Pada saat yang sama, sebagian tenaga kerja memasuki masa pensiun. Alhasil,
biaya variabel turun 10% menjadi US$ 56,8 per ton, sedangkan biaya tetap turun
7% menjadi US$ 59,9 per ton.
Adapun,
pendapatan sebelum bunga, pajak, penyusutan, dan amortisasi (EBITDA) naik
127,69% secara tahunan pada Januari-Oktober 2021 menjadi US$ 148 juta. Alhasil,
laba bersih tumbuh 160,81% dari posisi merugi hingga US$ 45 juta menjadi laba
US$ 74 juta pada 10 bulan pertama 2021. Di sisi lain, dua subholding anak
perusahaan perseroan juga berkontribusi dalam pertumbuhan EBITDA.
Kedua
sub-holding yang dimaksud adalah Krakatau Sarana Infrastruktur (KSI) dan
Krakatau Baja Konstruksi (KBK). KSI merupakan gabungan dari tiga anak usaha
KRAS, yakni PT Krakatau Industrial Estate Cilegon, PT Krakatau Tirta Industri,
PT Krakatau Daya Listrik, dan Krakatau Port & Logistic. Secara sederhana,
KSI merupakan subholding infrastruktur kawasan industri.
Hingga
10 bulan 2021, KSI telah mencatatkan pendapatan hingga US$ 221 juta dengan
EBITDA senilai US$ 66 juta. Sementara itu, KBK merupakan gabungan dari tiga
anak usaha KRAS, yakni PT Krakatau Wajatama, PT KHI Pipe Industries, dan PT
Krakatau Global Trading. KBK mencatatkan pendapatan senilai US$ 319 juta
sepanjang Januari-Oktober 2021, sedangkan EBITDA yang dihasilkan senilai US$ 18
juta.
https://katadata.co.id/lavinda/finansial/619d0af859cc9/krakatau-steel-targetkan-pendapatan-2022-bisa-melonjak-26