JAKARTA - Ekonom senior Rizal Ramli kembali mengingatkan pemerintah segera
membuat terobosan dalam mengatasi persoalan industri baja nasional yang memicu
melebarnya defisit transaksi berjalan akibat impor baja yang begitu besar.
Mantan anggota tim panel ekonomi PBB ini memberikan beberapa solusi dalam
permasalahan tersebut.
Satu setengah tahun lalu atau tepatnya 6 Oktober 2018, Rizal Ramli sudah
memberi peringatan kepada pemerintah. Lonjakan impor baja, kata Rizal, tidak
saja membuat defisit transaksi berjalan kian melebar, juga menyulitkan usaha
industri baja nasional.
Jika sudah sulit, kenaikan pengangguran serta masalah sosial yang mengikutinya,
tinggal menunggu giliran. Karena itu, kata Rizal, harus ada terobosan yang
memadai.
Mantan Menteri Kordinator Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus
Dur ini, mengusulkan sejumlah langkah yang bisa ditempuh tim ekonomi
pemerintah.
"Pertama, memanfaatkan kedekatan kita dengan China, dengan melobi pemimpin
negara itu. Poin kita jelas. Kurangi ekspor baja mereka ke sini. Dan perlu
disampaikan secara tegas bahwa kalau ekonomi Indonesia sempoyongan, mereka akan
getah juga. Dan jika cara negosiasi itu seperti memukul angin alias sia-sia
belaka, harus pikirkan cara lain yang lebih bergigi," ujar Rizal Ramli
kepada wartawan di Jakarta, Kamis (20/2/2020).
Kedua, sambung Rizal Ramli, pemerintah harus menerapkan kebijakan anti dumping.
Rizal mengusulkan agar Indonesia menetapkan tarif bea masuk 25% untuk impor
baja dan segala turunannya. Langkah itu, lanjut Rizal, sangat beralasan
lantaran di negeri asalnya, para importir baja mendapat keringanan pajak.
Mereka bahkan sudah mendapat tax rebate 10% dari pemerintah.
"Dengan tarif bea masuk 25% itu, pasar akan kembali sehat. Harga jadi
kompetitif. Ekonomis bagi industri baja dalam negeri. Mereka bisa bersaing,
produksi bisa naik, dan tentu saja bisa membukukan keuntungan," katanya.
Menata kembali keran impor kita, lanjut Rizal, bukan saja menolong industri
tapi juga menekan defisit transaksi berjalan. Dalam siaran pers, yang
dipublikasi sejumlah media 5 Juli 2019, Rizal mengkritik keras kebijakan tim
ekonomi pemerintah yang hanya punya nyali mengurangi impor barang-barang kecil
seperti bedak dan lipstik, yang nyaris tidak berdampak menekan defisit
transaksi berjalan.
"Kenapa tidak fokus kepada yang besar-besar seperti baja dan turunannya
itu," tanya Rizal.
Meski agak terlambat, keberanian Presiden Jokowi untuk tidak membiarkan negeri
ini terus-terusan impor baja dalam jumlah besar, sebagaimana disampaikan Rabu
pekan lalu itu, dinilai baik oleh Rizal Ramli. "Memang dibutuhkan langkah
terobosan yang berani dari pemerintah kita," tandasnya.
Sebagaimana diketahui, sejumlah industri baja dalam negeri tengah mengalami
kesulitan usaha akibat impor baja yang begitu besar. Pada Februari 2019, ramai
diberitakan perusahaan seperti Krakatau Steel akan melakukan Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) demi menyelamatkan keuangan perusahaan.
Kabar tentang rencana PHK itulah yang memantik ribuan buruh Krakatau Steel,
pada Selasa 7 Februari 2019, bergerak ke jalan. Berunjuk rasa, menolak rencana
yang menurut mereka tidak saja mengancam periuk nasi, tapi sekaligus membuat
masa depan keluarga mereka menjadi gelap.
Sebagaimana diketahui, pada pekan lalu, Presiden Jokowi telah menyampaikan
keprihatinan atas besarnya impor baja yang masuk ke Indonesia. Baja, kata
Jokowi, masuk urutan ketiga terbesar dalam daftar impor. Besarnya jumlah impor
baja itu tidak bisa dibiarkan sebab disamping merugikan industri baja nasional,
juga memicu defisit transaksi berjalan.
"Ini tentu saja menjadi salah satu sumber utama defisit. Defisit transaksi
berjalan kita. Apalagi baja impor tersebut, kita sudah bisa produksi di dalam
negeri," tegas Presiden Jokowi saat membuka rapat kabinet terbatas di
Kantor Presiden, Rabu 12 Februari 2020.