Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin)
mengungkapkan bahwa industri hilir lebih memilih menggunakan baja impor
ketimbang lokal untuk diolah menjadi produk turunan. Itu disebabkan harga baja
impor yang lebih murah ketimbang lokal.
Rupanya baja impor, terutama dari China bisa
lebih murah karena menyiasati cara-cara tertentu. Hal itu dianggap merugikan
industri dalam negeri karena menjadi sulit bersaing.
Seperti apa siasat yang dilakukan China sehingga
bajanya lebih murah dari buatan RI?
Direktur Eksekutif Asosiasi Industri
Besi dan Baja Indonesia (IISIA) Yerry Idroes mengungkapkan penyebab baja impor
khususnya dari China berkuasa di Indonesia. Hal itu karena Negeri Tirai Bambu
tersebut melakukan 'penyiasatan' untuk menekan harga.
Dia menjelaskan pemerintah China memberikan tax
rebate untuk ekspor baja paduan (boron) sebesar 18%. Tax rebate adalah
kebijakan pemotongan pajak. Otomatis harga baja China menjadi kompetitif.
"Di sana disiasati. Kan ada dua baja, baja
karbon dan baja boron. Kalau untuk menyiasati ini, penyiasatan itu ditambah
satu tetes boron, akhirnya baja karbon itu menjadi baja paduan," kata dia
saat dihubungi detikcom, Kamis (19/12/2019).
Dia menjelaskan bahwa secara definisi, pihak
China memang tidak menyalahi aturan karena ketika baja karbon diberikan setetes
campuran alloy/paduan boron pada proses pembuatannya maka produk tersebut
berubah menjadi produk baja boron (paduan).
"Tapi secara penggunaanya itu dia masih
tetap baja karbon. Nah itu yang kita namakan penyiasatan. Dia sebenarnya masih
baja karbon tapi ditetes sedikit saja definisinya berubah. Apa yang diuntungkan
oleh produk China, dia dapat 18% tax rebate di sana," jelasnya.
Tak sampai di situ, karena statusnya adalah baja
boron maka produk tersebut mendapat keringanan bea masuk 0% begitu masuk ke
Indonesia. Dia menjelaskan bahwa ada dua jenis baja, yaitu baja karbon dengan
bea masuk 5%-15%, dan baja paduan dengan bea masuk 0%.
Melalui apa yang dia sebut sebagai penyiasatan
maka baja impor dari China menjadi lebih murah 18-33%.