Salah satu faktor yang mendongkrak harga baja adalah rencana pemerintah Tiongkok memangkas kapasitas produksi industri baja. Selama ini, overkapasitas industri baja Tiongkok menjadi biang keladi rontoknya harga baja dunia hingga menyentuh level terendah dalam 10 tahun terakhir.
Dalam 10 tahun terakhir, harga baja dunia menyentuh titik tertinggi Agustus 2008 sebesar US$ 1.100 per ton. Hal itu dipicu melejitnya hargaminyakmentah yang sempat bertengger pada level US$ 147 per barel.
Namun, sejak 2009, harga baja dunia terus tergelincir. Kejatuhan harga baja dipicu rontoknya permintaan baja di Tiongkok sebagai pasar dan produsen baja terbesar dunia. Hal itu menyebabkan terjadinya overkapasitas industri baja Tiongkok.
Saat ini, kapasitas terpasang industri baja Tiongkokmencapai 874 juta ton per tahun, sedangkan penjualan diperkirakan hanya 673 juta ton. Dengan demikian, terdapat selisih sebanyak 201 juta ton yang harus dilempar ke pasar. Keadaan ini membuat harga baja terus melorot, karena pabrikan baja Negeri Tirai Bambu tak segan membanting harga jual alias dumping.
Bank investasi Amerika Serikat (AS) Morgan Stanley memperkirakan, 2016 adalah tahun kebangkitan harga baja. Alasannya, pemerintah Tiongkok sudah mengumumkan program reformasi pasokan produk hasil industri. Dalam program itu, pemerintah Tiongkok mengalokasikan dana 30 miliar yen untuk menurunkan kapasitas produksi industri manufaktur, termasuk baja.
“Dana itu digunakan untuk membayar kompensasi dan jaminan sosial karyawan sekaligus insentif bagi industri yang menurunkan kapasitas produksi,” tulis Morgan Stanley dalam laporan riset, Rabu (20/1).
Berdasarkan kalkulasi Morgan Stanley, jika 50% dana itu dipasok ke sektor baja, kapasitas produksi yang bisa diturunkan berkisar 60-100 juta ton. Ini menjadi katalis kuat penguatan harga baja dunia.
Industri Konsolidasi
Di sisi lain, Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang sudah berlakumembuat industri baja nasional harus berkonsolidasi untuk menghadapi potensi serbuan baja dari negara-negara Asean. Ada tiga negara yang perlu diwaspadai, yakni Thailand, Vietnam, dan Malaysia.
Mulai tahun ini, negara-negara Asean akan bersaing ketat untuk menjadi pemain utama industri baja di kawasan ini. Oleh karena itu, pelaku industri baja berharap pemerintah dapat menemukan cara untuk melakukan konsolidasi danmenyatukan industri baja nasional.
“Sama seperti negara-negara Asean lainnya, tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia saat ini adalah serangan baja impor murah dari Tiongkok dan negara-negara di luar Asean. Dengan demikian, negara-negara Asean harus kompak bersatu untuk mengambil langkah-langkah taktis dan strategis untuk mengamankan industri di Asean maupun negaranya masing-masing,” kata Co-Chairman Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) Hidayat Triseputro.
Hidayat menambahkan , dukungan pemerintah melalui penggalakkan program SNI, tata bea impor, tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), pemberian tax allowance, serta peningkatan penyerapan produk baja terutama untuk proyek-proyek pemerintah yang menggunakan APBN diharapkan dapat menggerakkan industri baja nasional untuk terus bertumbuh.
Hidayat menilai, ada tiga negara Asean yang berpotensi merebut pasar baja Indonesia. Pertama, Thailand, yang merupakan pasar baja terbesar di Asean dengan konsumsi 17,3 juta ton. Selanjutya, Vietnam dengan rata-rata pertumbuhan tertinggi 20% lebih selama tiga tahun terakhir. Ketiga, Malaysia, yang pasar bajanya memang kalah oleh Indonesia, namun produksi dan konsumsi baja negeri itu terus melonjak.
Presiden Direktur PT Arcon Prima Indonesia Ari Slamet, mengatakan diperlukan konsolidasi dan persatuan industri baja nasional dalam rangka menyelamatkan industri baja nasional. “Pemerintah harus bisa menemukan cara agar menciptakan iklim industri yang baik, sehingga pertumbuhan industri dalam negeri lebih berpihak kepada produsen lokal,” tambah Ari.
Direktur Bukaka Teknik Utama sekaligus Ketua Asosiasi Pabrikan Jembatan Baja Sofiah Balfas berharap industri baja nasional bisa menjadi tokoh utama dalam pertumbuhan ekonomi. “Setiap industri yangmenggunakan baja sebagai bahan baku sudah semestinya menggunakan produk lokal mendukung program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN). Kami dari asosiasi pabrikan baja mengharapkan jembatan baja disuplai oleh perusahaan dalam negeri,” terang Sofiah.
Sementara Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) I Gusti Putu Suryawirawan mejelaskan, industri besi dan baja merupakan industri prioritas yang dapat menopang sektor industri lain. Namun, saat ini, industri baja nasional menghadapi berbagai tantangan, seperti kurangnya pasokan baja dalam negeri dan bahan baku material, serta perlambatan ekonomi.