Bisnis.com, JAKARTA — China diramal akan gagal mewujudkan janji manisnya untuk melakukan dekarbonisasi industri baja yang sarat emisi karbon pada 2025. Target baja hijau 2025 terancam tinggal kenangan. Kegagalan dekarbonisasi industri baja China yang raksasa dipicu melambatnya permintaan, rendahnya tingkat daur ulang, dan masih adanya kekhawatiran akan kelebihan kapasitas yang menghambat transisi menuju produksi rendah emisi.
Industri baja global bertanggung jawab atas sekitar 8% emisi karbon dioksida (CO2) dunia, dan lebih dari separuh produksinya dilakukan di China. Menurut catatan World Steel, China tetap merupakan produsen baja nomor satu dunia sepanjang tahun lalu. Volume produksi baja China sepanjang 2023 mencapai 1,01 miliar ton, tidak berubah dari posisi 2022. Adapun, jumlah itu setara dengan 53,97% produksi global sepanjang tahun lalu yang mencapai 1,88 miliar ton.
Meskipun China telah berjanji akan mengambil tindakan untuk mengatasi emisi dari sektor ini, negara itu masih tertinggal dalam mencapai target untuk mengganti tanur sembur berbahan bakar batu bara dengan teknologi tanur busur listrik (electric arc furnace/EAF) yang lebih bersih, yang menggunakan bahan sisa daur ulang dibandingkan bijih besi sebagai bahan bakunya.
Sebelumnya, Beijing menetapkan target untuk memproduksi 15% baja mentahnya menggunakan rute EAF pada 2025, dan meningkatkan pangsa tersebut menjadi 20% pada akhir dekade ini. Namun, menurut David Cachot, Direktur Penelitian di konsultan Wood Mackenzie, pangsa baja yang diproduksi EAF hanya 10% pada tahun lalu, naik tipis dari 9,7% pada tahun sebelumnya.
Menurut Global Energy Monitor (GEM) dalam sebuah laporan yang diterbitkan Selasa (19/3/2024), kapasitas EAF China saat ini sekitar 150 juta metrik ton dan akan cukup untuk memenuhi target 15%, tetapi tingkat pemanfaatannya masih rendah. Meskipun target China sebesar 15% dianggap relatif tidak ambisius, target tersebut masih akan mengurangi emisi dari sektor baja China sebesar 8,7%, dengan CO2 per ton sekitar 38% lebih rendah dibandingkan produk tanur sembur konvensional. Namun, Jessie Zhi, salah satu penulis laporan GEM mengatakan terbatasnya pasokan barang bekas, penurunan permintaan baja, dan pembatasan pasokan listrik telah merugikan profitabilitas fasilitas EAF. Kemajuan juga terhambat oleh pembangunan kapasitas tanur sembur baru. "China telah berkomitmen untuk mengembangkan teknologi yang lebih ramah lingkungan, tetapi setiap investasi pada teknologi tanur tiup mewakili investasi modal yang signifikan di pihak pembuat baja dan dengan demikian (ada) peningkatan dua kali lipat pada teknologi berbasis batu bara," kata Zhi, seperti dilansir dari Reuters, Selasa (19/3/2024).
Saat ini, sebagian besar pasokan besi tua China digunakan oleh tanur sembur tradisional. Beberapa fasilitas EAF terpaksa beralih ke pig iron sebagai bahan baku, sehingga produksinya menjadi lebih intensif karbon. Meningkatkan pasokan bahan sisa, atau beralih ke besi tereduksi langsung (direct reduced iron/DRI) berbasis hidrogen sebagai bahan baku alternatif, akan sangat penting bagi keberhasilan EAF di China. DRI adalah cara yang lebih bersih untuk mengubah bijih besi menjadi besi, yang kemudian dapat diolah menjadi pelet yang dapat digunakan dalam EAF. "DRI mengurangi sekitar 70-80% emisi, tetapi itu tergantung apakah Anda bisa mendapatkan cukup pelet bijih besi yang menghasilkan emisi tersebut.
Persediaan saat ini terbatas," kata Chris Bataille, pakar dekarbonisasi di Universitas Columbia. Gulungan baja di dermaga transportasi di fasilitas produksi Baoshan Baowu Steel Group Co. di Shanghai, China, Jumat (16/9/2022). Bloomberg/Qilai Shen/Bloomberg. Perbesar Bataille mengatakan China bisa saja memproduksi tiga perempat dari total bajanya melalui EAF pada 2050, setelah mereka membangun infrastruktur yang diperlukan dan pasokan bahan baku.
"Masalah utama mereka adalah apa yang mereka lakukan dengan kelebihan kapasitas mereka," katanya. Caitlin Swalec, Direktur Program, Industri Berat, Global Energy Monitor, menambahkan bahwa rencana China saat ini untuk industri baja tidak mendukung seruan terbaru Presiden Xi Jinping untuk industri ramah lingkungan dan rendah karbon. Dengan sedikit penyesuaian, menurutnya China dapat mengambil langkah penting menuju dekarbonisasi sektor baja global.
Skenario Optimistis Menukil laporan GEM, jika China ingin tetap mencapai target produksi EAF sebesar 20% pada 2025, negara tersebut perlu memproduksi 190 million ton per annum (mtpa) baja menggunakan teknologi EAF, yang berarti setidaknya 39 mtpa kapasitas EAF perlu ditambahkan pada 2025. China saat ini memiliki 48 mtpa kapasitas EAF yang tengah dikembangkan, tetapi 21 mtpa akan ditutup. Itu artinya, industri tersebut harus menambah sekitar 27 mtpa berdasarkan rencana pengembangan dan penutupan saat ini.
China melakukan sedikit penyesuaian terhadap pengembangan kapasitas saat ini dan rencana penutupan untuk menambah lebih banyak kapasitas EAF dan mengurangi kapasitas BF-BOF [Blast Furnace-Basic Oxygen Furnace], negara tersebut dapat memasang kapasitas EAF yang cukup untuk mewujudkan ambisi awalnya untuk mencapai 20% produksi EAF pada 2025," demikian tertulis dalam laporan itu. Mencapai 20% produksi EAF pada 2025 berarti akan mengurangi emisi industri sebesar 38 mtpa CP2, menurunkan emisi industri sebesar total 217 mtpa CO2, hampir 11% dari tingkat emisi 2022 pada 2025.