Gabungan Pelaksana
Konstruksi Nasional Indonesia (GAPENSI) menyoroti maraknya baja impor yang
tak sesuai standar nasional Indonesia atau SNI. Produk tersebut banyak
ditemukan pada jenis material yang dipakai pada jasa konstruksi. Padahal, dari
segi kuantitas, industri baja dalam negeri dinilai mampu mencukupi kebutuhan
nasional.
Produk baja yang
dihasilkan juga memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan impor.
Sekretaris Jenderal BPP GAPENSI Andi Rukman Nurdin menilai, pemerintah
cenderung lebih fokus terhadap pembangunan infrastruktur dibandingkan perbaikan
industri nasional. (Baca: Akibat Corona, Permintaan Baja Dunia Diramal
Terkontraksi 6,4%) "Kebutuhan kita untuk industri baja ini 15 hingga 20
juta metrik ton. Kita mampu sekali melakukan itu. Dengan catatan pemerintah
tegas bagaimana memproteksi pemain-pemain baja ini untuk menutup keran
impor," kata Andi dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis (9/7).
Menurut dia, kualitas
produk hasil produksi dalam negeri tak jauh berbeda dibanding baja dari
Tiongkok, Vietnam maupun Thailand. Kendati demikian, dari segi harga produk
kedua negara ini jauh lebih murah. Alhasil, konsumen lebih memilih harga paling
murah sehingga produk dalam negeri kalah saing. Untuk menjadikan harga produk
baja lokal lebih bersaing, industri dalam negeri harus mampu meningkatkan
jumlah produksi. Selain itu, dia menilai tetap diperlukan dukungan pemerintah
untuk melindungi industri baja dalam negeri dari gempuran baja impor dari sisi
regulasi.
"Kita punya Krakatau Steel yang cukup
luar biasa, punya Gunung Garuda, tapi kenapa kebijakan impor ini masih dibuka,
ini menjadi persoalan," kata dia. (Baca: Pelaku Usaha Minta Perlindungan
dari Serbuan Impor Baja Selama Pandemi) Perlindungan baja sebelumnya memang kerap
dilontarkan pelaku industri, terlebih di masa pandemi corona. Indonesia
Iron and Steel Industry Association (IISIA) Widodo Aji mengatakan, industri
baja berada dalam kondisi kritis sehingga pelaku usaha meminta dilakukan
perlindungan perdagangan anti-dumping dan safeguard.
"Kondisi industri
bisa berdarah-darah dari sisi keuangan. Oleh karena itu, perlu tindakan
(perlindungan) cepat," kata dia dalam video conference, Selasa (9/6).
Ekspor besi dan baja meningkat selama periode Januari–Maret 2020 sebesar 36%.
Sementara, impor turun sekitar 23%. Meski begitu, dengan permintaan baja di
dalam negeri yang menurun lebih dari 50% selama periode tersebut, menyebabkan
volume impor yang masuk terasa cukup signifikan selama kuartal I 2020.
"Karena demand turun dan impor tinggi,
maka tingkat utilisasi baja nasional 10-30%," ujarnya. Permintaan Baja
Turun Sementara itu, Ketua Bidang 3 BPP HIPMI Perdagangan, Perindustrian, dan
ESDM sekaligus Direktur Gobel Internasioanal Rama Datau mengatakan, pandemi
virus corona membuat industri terpukul. Kondisi semakin diperburuk dengan
diterapkannya kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) membuat
kegiatan ekonomi terhenti sehingga berdampak pada penurunan permintaan di
pasar. Sebagai industri yang pendukung industri lain, produk baja harus menjadi
perhatian khusus oleh seluruh pemangku kepentingan.
"Kita lihat industri bajanya banyak
gempuran dari baja impor, mungkin bisa membantu memproteksi industri baja ke
depan dari produk impor," ujar Rama. Membanjirnya impor besi dan baja juga
sempat menuai sorotan Presiden Joko Widodo. Hal ini menjadi salah satu
sumber defisit neraca perdagangan serta menggerus transaksi berjalan.
Bata Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor besi dan baja sepanjang 2019
mencapai US$ 10,39 miliar atau sekitar Rp 753 triliun. Realisasi impor baja
meningkat 1,42% dibanding tahun sebelumnya US$ 10,25 miliar. Selain menyebabkan
defisit dagang dan transaksi berjalan, impor baja juga menyebabkan utilitas
pabrik di dalam negeri menjadi sangat rendah.