KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintahan
Donald Trump kembali mengguncang dunia perdagangan internasional.
Setelah sempat meredup pasca masa
jabatan pertamanya, Trump—dalam kapasitasnya sebagai figur politik yang tengah
bersiap kembali ke Gedung Putih—melontarkan wacana tarif tambahan (surcharge)
atas produk-produk impor dari negara-negara mitra dagang utama AS, termasuk
Indonesia.
Berbeda dari kebijakan sebelumnya
yang bersifat sektoral, kali ini tarif dapat diberlakukan secara menyeluruh dan
dengan angka yang jauh lebih tinggi.
Menurut Trump, langkah ini bertujuan untuk
"mengembalikan produksi dan lapangan kerja ke dalam negeri".
Namun, banyak pengamat menilai
bahwa ini adalah bentuk baru dari proteksionisme yang berisiko mengguncang
stabilitas ekonomi global.
Trump bukan kali ini saja
menerapkan kebijakan proteksionisme. Pada masa jabatannya yang pertama, ia
pernah menetapkan tarif impor sebesar 25% untuk baja dan 10% untuk aluminium.
Meski dampak langsungnya terhadap
Indonesia saat itu relatif terbatas, kebijakan ini tetap memicu gejolak dalam
arus perdagangan global.
Direktur Jenderal ILMATE
Kementerian Perindustrian Setia Diarta menyatakan bahwa ekspor baja Indonesia
ke AS memang relatif kecil.
Namun, dampak kebijakan tersebut
tetap terasa dalam bentuk tekanan harga akibat alih ekspor dari negara-negara
seperti China ke kawasan ASEAN, termasuk Indonesia.
"Ekspor baja Indonesia
dengan nomor HS 72 ke AS memang tidak signifikan. Tetapi kebijakan tarif ini
memicu perubahan dinamika harga global, terutama karena negara seperti China
mulai mengalihkan ekspornya ke pasar alternatif seperti ASEAN," ujar Setia
Diarta dalam keterangannya.
Indonesia lebih mengandalkan
pasar Eropa untuk ekspor baja karbon, dengan pangsa mencapai 40% atau senilai
US$480 juta.
Oleh karena itu, dampak langsung
tarif AS terhadap sektor ini masih terkendali. Namun, kondisi berbeda terjadi
pada ekspor produk hilir seperti stainless steel dan ferro alloy yang sangat
bergantung pada pasar AS dan China.
Produk berbasis nikel, termasuk
baja finished, bisa terkena imbas jika akses ke pasar AS terganggu.
Wakil Ketua Komite Eksekutif
IISIA Ismail Mandry turut mengingatkan bahwa Indonesia bisa terdampak serius
oleh kebijakan tarif AS, mengingat statusnya sebagai mitra dagang ke-15
terbesar dengan total nilai impor mencapai US$19 miliar.
"Kondisi ini sangat berat
bagi Indonesia yang sedang berusaha menembus pasar AS. Jika dikenai kenaikan
tarif impor secara signifikan, posisi kita akan semakin sulit," ujar
Mandry.
Ia juga memperingatkan bahwa produk-produk yang tertolak
masuk ke AS, seperti dari China, berpotensi membanjiri pasar ASEAN termasuk
Indonesia.
Menteri Perindustrian Agus
Gumiwang Kartasasmita menekankan pentingnya regulasi yang mendukung daya saing
industri nasional.
"Regulasi yang kondusif
menjadi kunci agar industri baja dan logam tetap bertahan dalam tekanan
global," katanya.
Selain tekanan dari luar negeri, tantangan internal juga tak
kalah besar.
Meski demikian, industri logam
Indonesia tetap menunjukkan pertumbuhan positif. Realisasi investasi tahun 2024
mencapai Rp697,5 triliun, tumbuh 23,4% dibanding tahun sebelumnya.
Sektor logam dasar menjadi kontributor terbesar dengan nilai
investasi Rp231,1 triliun. Subsektor logam dasar dan otomotif juga mencatat
kontribusi signifikan dalam Penanaman Modal Asing (PMA).
Dalam menghadapi tantangan global
ini, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk mengambil langkah strategis dengan
meningkatkan efisiensi serta memperluas pasar ke Asia Tenggara dan Timur
Tengah.
Direktur Utama Krakatau Steel Muhamad Akbar Djohan menyoroti
pentingnya pembenahan tata niaga impor baja.
"Kami menekankan perlunya
pengendalian atas praktik perdagangan tidak adil seperti dumping dan subsidi.
Krakatau Steel siap berperan sebagai Pusat Logistik Baja nasional untuk
memperkuat ketahanan industri dalam negeri," ujar Akbar melalui keterangan
resmi, Senin (7/4).
Kebijakan proteksionisme Trump
baru saja dimulai. Indonesia perlu bersikap waspada dengan memperkuat industri
hilir, memperluas jaringan perdagangan, serta meningkatkan efisiensi dan daya
saing industri nasional.
Dengan strategi ini, industri baja Indonesia diharapkan mampu bertahan dan terus berkembang di tengah ketidakpastian perdagangan global.